Keblabasan pers??...kita bisa merubahnya


Akhir januari lalu, hampir seluruh media cetak dan elektronik, berlomba-lomba menyajikan berita tentang kondisi Bapak Soeharto (Alm). Pikiran saya, mungkin seluruh wartawan Indonesia berkumpul di Jakarta hanya untuk meliput berita yang hanya itu-itu saja. Mungkin, yang lebih parah lagi, ada wartawan yang meliput dan wartawan lain hanya duduk saja. Masalah berita, nanti tinggal nyomot dari orang lain. Toh, isinya bisa di pastikan sama. Seputar kondisi beliau, siapa yang bertamu, menanti pernyataan dokter, dll.

Kejadian serupa terulang kembali. Media cetak maupun eletronik, meluncur ke sebuah desa yang terletak di kabupaten Jombang. Mereka ingin meliput kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Verry Idam Henyanysah alias Ryan. Dengan susah payah, para wartawan membawa banyak peralatan, demi mengejar sebuah berita pembunuhan. Aneh, pembunuh koq seperti selebritis. Jangan-jangan, orang melakukan pembunuhan atau kriminal lain kepingin terkenal. Huh….!!!

Demokrasi tak bisa lepas dari peranan pers atau media. Tujuan dari adanya pers, salah satunya adalah untuk mengontrol laju jalannya sebuah pemerintahan. Kalau keblablasan misalnya, beritanya bisa diobral seluruh media sekaligus mengingatkan pemerintah


Selain mengontrol pemerintahan, pers juga merupakan sebuah bentuk kebebasan dari sistem demokrasi. Mengutip dari perkataan Amartya Sen “Tidak pernah ada kelaparan di negara yang memiliki pemerintah demokratis dan kebebasan pers”.
Namun yang perlu diperhatikan adalah, siapa yang akan mengontrol kebebasan pers?

Saat ini, segala bentuk berita disajikan kepada pembaca. Mereka, para wartawan, tak memandang apakah yang mereka sajikan berkualitas atau tidak. Yang penting bagi mereka, kerja, selesai, dapat bayaran, beres.

Jelas, yang jadi korban dari kebebasan mereka dalam menyajikan berita adalah rakyat atau pembaca. Coba kita tengok, masyarakat Indonesia sangat percaya hal-hal yang berbau mistis. Ulah siapa itu? Media, karena sering menampilkan film-film mistis.

Ada sebagian masyarakat Indonesia yang tak bangga dengan negaranya sendiri. Apa penyebabnya? Media terlalu sering menyajikan kejadian-kejadian yang buruk tentang Indonesia. Lagi-lagi ini ulah media.

Narkoba, rokok, preman, yang menurut sebagian orang “nominasi” contoh orang gaul dan keren. Nominasi ini berasal dari media.

Kenapa media-media sedikit sekali menyajikan pendidikan misalnya, apalagi baru-baru ini para pendekar muda Indonesia berhasil menyabet juara dalam olimpiade sains. Atau kenapa tidak sering menampilkan keindahan masyarakat yang hidup damai dengan suku lain. Ini saya kira sangat berkualitas dari pada menampilkan berita-berita yang mengedepankan gaya, otot, atau yang lain.

Saya mengambil contoh dari Negara saat ini saya tinggal. Maaf, bukannya saya terlalu bangga dengan Mesir dan meremehkan Negara saya sendiri, tapi bagi saya, siapa dan apapun kalau itu baik bagi kita, kenapa kita malu untuk menirunya. “Pandanglah apa (makna) yang diucapkan, jangan melihat siapa yang mengucapkan”, kira-kira begitu kata mutiara yang sering kita dengar.

Di Mesir, jarang sekali saya melihat tayangan TV yang menampilkan film-film berbau mistis. Media cetak juga begitu, hampir tak ada kolom yang isinya mistis. Hasilnya? Jalan malam-malam tak ada perasaan takut dikejar hantu atu sejenisnya.

Satu contoh yang membuat saya masih terheran-heran saat ini, adalah hal-hal yang berbau ghoib, santet misalnya. Di Indonesia, kalau ada penyakit yang tak kunjung sembuh atau penyakit yang aneh, orang-orang mengira pasti dia kena santet atau ilmu hitam. Kalau di Mesir, tak pernah saya mendengar kata-kata santet atau semacamnya. Padahal, kalau kita tengok sejarah perjalanan Nabi Musa melawan Fir’aun, ada sejarah yang menceritakan bahwa Nabi Musa pernah ditantang untuk melawan penyihir pengikut Fir’aun.

Saya yakin, di setiap Negara ada hal-hal yang berbau mistis atau ghoib, tak luput juga Mesir. Tapi, yang menjadi berita itu menjadi besar bukan berasal dari masyarakat atau pemerintahannya, peranan media mempunyai andil kuat ketimbang yang lain. Kalau setiap hari disuguhi berita-berita mistis atau kriminal, maka tak heran kalau masyarakatnya mengagung-agungkan mistis dan bangga dengan kriminal.

Tak bisa dipungkiri, bahwa sajian-sajian media mengikuti pangsa pasar. Kalau konsumennya suka dengan yang A misalnya, maka tiap hari beritanya itu-itu saja. Artinya, bahwa kita juga turut andil dalam pembuatan sajian berita.

Mengulang pertanyaan pada paragraph ke empat, bahwa siapa yang mengontrol kebebasan pers? Jawabannya adalah kita. Iya, kita bisa menjadi pengawas sekaligus membawa pers menuju langkah lebih baik.

Kasus pembunuhan oleh Ryan misalnya. Seandainya saja kita tak terlalu getol mengikuti perkembangannya, maka paling dalam hitungan satu atau dua hari, beritanya itu akan tamat. Tetapi kalau kita semangat mengikuti beritanya, bahkan sampai datang ke TKP hanya untuk melihat pembongkaran korban, jangan harap beritanya akan berhenti. Sampai kita bosen pun, kalau masih ada saja orang yang suka beritanya, akan tetap ada.

Tapi alangkah lebih baik, kalau terjadi kerja sama antara produsen dan konsumen. Antara pers dan masyarakat. Hal ini lebih cepat dari pada hanya salah satu yang harus bekerja.

Namun apa dan bagaimanapun yang terjadi, kita bisa merubahnya menjadi lebih baik.


13 komentar:

di indonesia medianya sering tiru-tiru, berita satu booming semua ngikut, mungkin untuk menaikkan rating aja, gak ada yang berani banting setir, misal sebagai media pendidikan atau media lain yang belih berguna

kalo menurut kaca mata saya indonesia tidak hanya bisa dilihat dari sisi negatif saja, tapi masalah positif dari indonesia banyak. Dan masih kurang yang menonjolkannya, apa karena konsumen lebih memilih yang berbau kontroversi? itu yang belum jelas, dan pastinya lebih mudah mengikuti daripada membuat jalan sendiri.

namanya aja udh jamannya ngikutin trand, ntr klo memuat berita yang kurang populer kan jadi gak laku..

mungkin ini bentuk euforia kebebasan pers, stlah skian lama dipasung oleh rezim ORBA.mengapa kasus Riyan trlalu dibesar2kan, pdhal cuman bunuh blasan orang :D , BUSH bunuh ribuan orang tp "jarng" diekspose.
kang, judul tulisan ini keablabasan ato kebablasan? :)

Mas Benny...itu poinnya. Berita sekarang seprti bisnis dan cuek terhadap esensinya.

kayaknya berita di indonesia cuma sekedar buat menaikkan rating permirsanya aza dan bukan karena menyuguhkan berita yang benar2 berkualitas, katanya sich berita yang berkualitas malah membosankan :)

jadi? harus mulai dari diri kita khan. sekarang pertanyaannya, seberapa banyak orang yang berpikir seperti itu? maaf, bukan pesimis...hanya seringkali saat orang bisa berpikir sedikit kritis saja maka akan mendapat sorotan negatif dari berbagai pihak. ah, memang serba salah berada disini...tapi, jika bukan dimulai dari kita yang memulai perubahan, maka dari siapa lagi? :)

Memang benar bahwa pers mampu menggoyahkan maupun membangunan tatanan demokrasi, namun yang paling penting adalah bagaimana pers mampu dan tetap pada jalur independennya..

sangat mencerahkan tulisannya, bos. salam kenal

mampir sore sebelom pulang boss

wah, kapan ya media di Indonesia bisa belajar tertib dan bener2 menginformasikan berita yg bener2 perlu aja..
yg gak perlu ngeboom, ya gak usah di booming kan..
cuma bisa berharap.. semogaaa...

ya..media suka melebih2kan..apalagi gosip..infotainment sucks..
*udah dulu ya..mau nyari infotainment lagi...

hehehe....ngena bagt artikelnya. keep blogging bro...

Posting Komentar

coret di sini